Hello again readers,
Seharusnya saya menulis beberapa waktu ini. Tapi kemalasan lebih seru daripada menulis. Maaf untuk hal tersebut.
Btw, here is one of my favorite article from Kompas Minggu: Parodi. Kalian pasti berpikir kalo saya konvensional sekali. Biarkanlah. Saya memang suka baca koran kok.
Penulisnya Samuel Mulia. Beliau seorang yang antik *bisa dalam arti baik atau buruk*, usia sekitar 50-an dengan berbagai permasalahan kesehatan, termasuk ginjal. Designer, brand consultant, writer for newspaper and some magazine.
Alasannya kenapa saya suka sama tulisannya adalah karena Om Sam ini seringkali menyuarakan isi hati saya, padahal ga mungkin dia tau isi kepala saya. Kenal juga engga. Dan beberapa kali tulisanya nyentil banget. Saya seneng bacanya. Jujur dan lugas. Walau kadang-kadang agak vulgar (kasar). Hehehe..
Oke, cukup introduksinya.
Fyi, tulisan ini ada di Kompas Minggu, 17 Februari
2013.
Melihat ke Belakang
Saya
berkumpul di meja makan panjang dengan lima teman. Pembicaraan menarik adalah
soal pacaran. Salah satu dari kami yang telah memiliki anak dua dan suami yang
ganteng menceritakan masa pacarannya dahulu.
Dari
ceritanya yang begitu panjang dan melahirkan gelak tawa, buat saya yang paling
menarik adalah penjelasannya yang satu ini, ”Bekas pacarku itu sekarang dah
pacaran lagi. Anehnya, pacarnya yang sekarang sering banget nelponin gue dan
ngajak makan. Nanya ini itu. Nyebelin juga sih, udah deh, itu masa lalu gue.”
”Too
much information” (TMI)
Penjelasannya
itu terbawa oleh pikiran saya sampai ke rumah. Satu dari sejuta hal yang tak
saya sukai dari diri saya sendiri adalah semua hal dianalisis, semua hal jadi
buah pemikiran, sampai-sampai teman saya menasihati untuk berhenti melakukan
itu. ”Elo, kan, bukan peneliti, Cong.” Ia melanjutkan nasihatnya, hidup itu
seyogianya dijalani saja, jangan keseringan dianalisis. ”Ntar yang cepat mati
tu elo,” lanjutnya.
Sebetulnya
apa yang dijelaskan teman wanita saya itu sudah acapkali saya dengar dari
teman-teman saya yang lain. Ada saja perselisihan kalau salah satunya bertemu
dengan pacar masa lalunya. Selalu saja ada kasus di mana pacar baru dari
pasangan mereka di masa lalu ingin menjadi sahabat. Dan, mereka mengakui,
keinginan untuk bersahabat itu hanya untuk mengorek informasi dan menjalankan
prinsip bring the enemy even closer.
Tetapi,
mengapa mereka melakukan itu? Saya tak pernah bertanya soal itu setelah
mendengar cerita-cerita di atas. Tetapi, penjelasan malam dari teman saya itu
membuat saya bertanya kepadanya sebelum meninggalkan meja makan itu. Dan, ia
menjawab, ”Gue sendiri juga enggak tahu. Kalau gue mah masa lalu tinggal masa
lalu. Titik.”
Saya
setuju dengan pendapat teman saya ini. Bukankah katanya let bygones be bygones.
Tetapi, susah, kan, melakoni untuk melupakan masa lalu dan melangkah maju tanpa
perlu menoleh ke belakang?
Saya
punya prinsip, my past is mine to cherish, your past is yours to regret. Only
the future belongs to us. Entah saya yang munafik, entah saya yang insecure,
saya benar tak tahu. Tetapi, kalau saya mau pacaran di masa sekarang ini, ya…
saya akan menanyakan pacar saya luar dalam. Ya, soal perjalanan masa lalunya,
keluarganya, dan sebagainya. Saya tak perlu bertanya kepada bekas-bekas
pacarnya, siapakah pacar saya sesungguhnya, mencari informasi tentang siapa
pacar saya. Saya tak berkeinginan memiliki prinsip hidup mendekatkan musuh
saya. Saya tak menganggap pacar masa lalunya sebagai musuh.
Perlu
sebagian saja
Bagaimana
saya dapat memusuhi atau bahasa lainnya cemburu kepada masa lalunya? Kepada
pacarnya dahulu yang tak saya kenal? Aneh sekali kalau saya mencemburui
seseorang atau sesuatu yang tak saya kenal, bukan? Pekerjaan rumah saya adalah
berkonsentrasi kepada masa sekarang dan berprinsip untuk juga masuk ke masa
depan bersama.
Maka,
daripada saya pusing tujuh keliling, menelepon bekas pacarnya pacar saya,
mengundang makan segala macam sehingga membuat uang saya keluar hanya untuk
sebuah informasi yang belum tentu akan terjadi sama seperti yang dialami
mereka, mengapa saya tak menanyakan kepada orang yang paling dekat, yaitu pacar
saya?
Bukankah
memacari orang, selain bisa bercumbu, saya juga memiliki tanggung jawab untuk
menjalaninya dengan serius tanpa harus melihat ke belakang? Bahwa informasi itu
diperlukan, itu sah-sah saja. Masalahnya, temuan itu didapat pada masa pacaran,
bukan menanyakan pengalaman orang lain yang pernah memiliki hubungan dengan
pacar saya. Mengapa demikian? Sebab, bisa saja saya memacari manusia yang sama
yang pernah jadi pacar orang lain, tetapi peristiwa yang saya alami dengan
manusia yang sama akan menjadi begitu berbeda.
Bisa
jadi, ia tidak romantis di masa lalu, sekarang menjadi romantis, bukan
gara-gara saya sengaja mengubahnya menjadi romantis, tetapi karena ia menjalani
pengalaman berbeda yang tak ditemui di masa pacarannya dahulu dengan orang yang
berbeda. Bisa jadi dahulu ia belum matang dan stabil, baik secara emosional
maupun finansial, sekarang menjadi berbeda. Ya… itu untungnya saya, kalau
sekarang dia numpak mobil mewah, dahulu jalan kaki. Jadi, mengapa saya perlu bertanya
kepada manusia yang pengalamannya dan nasibnya berbeda dengan saya? Apa
untungnya?
Bukankah
ketika saya memutuskan untuk memacari seseorang, bukankah di menit itu saya
harus berpikir kalau saya akan memiliki penemuan baru yang berbeda dengan pacar
masa lalunya. Dan, betapa menguntungkannya kalau dalam perjalanan itu, saya
menemukan hal-hal yang saya temui dengan cara saya sendiri, bukan dengan cara
orang lain?
Jadi,
perjalanan cinta saya tak perlu utuh dengan informasi lengkap. Saya seharusnya
bersyukur menjalani dengan informasi yang hanya sebagian sehingga seperti
sebuah perjalanan, saya akan menemui lautan biru dan ganas serta bukit terjal
yang memesona, yang laut dan bukitnya berbeda dengan pacar masa lalunya.
Tulisan ini saya masukin di sini, special for my friend. Semoga dibaca dengan seksama dan tidak galau lagi. Haha..
Kegalauan membunuh waktumu, waktumu membunuh kegalauan
Terserah yang mana, tapi kamu tahu yang terbaik akan datang
~GMA